Jumat, 30 Agustus 2013



Syahwat pun kentut ( dan BOM pun ada yang mulia )


Dari kedai-nya Kang Lukman: “Dul ini bom apa lagi?”
“Saya bukan ahli bom kok ditanya …”
“Maksud saya, jenis pegebomam yang mana?”
“Jenisnya pasti jenis kepentingan!”
“Jadi kamu sudah tahu siapa pengebomnya?”
“Sudah …!”
“Siapa dan pihak mana?”
“Wah, rahasia Di. Nanti kasihan Pak Polisi..”
“Lho kok kasihan sama Pak Polisi”
“Iya, karena yang mengebom itu tidak ada rupa dan jenisnya, warnanya saja tidak ada. Tahu-tahu,sudah bau.”
“Itu pasti bom pantatmu, alias kentutmu!”

“Ha ..ha ..ha .. pantatku jadi tertuduh, kaya Inul dong!”

Jumat, 17 Mei 2013


MENINGGALKAN DERAJAT HEWANI


Dulkamdi ngelamun panjang, sampai tak karuan. Betapa tidak? Sapi yang ia pelihara sejak setahun yang lalu, kini harganya tetap sama saja, gara-gara menjamurnya daging sapi import dari luar negri. Produk dalam negri anjlok lagi, sehingga harga sapi untuk ritual qurban sangat murah.

“Kamu mestinya bersyukur Dul, banyak orang yang berqurban berduyun-duyun. Alias dengan rombongan,,,,” tegur Pardi.
“Maksudmu?”
“Lah iya, kalau orang berqurban sapi kan bias dinaiki tujuh orang. Nah, sekarang harga sapi murah, berarti kamu turut menolong banyak ummat Dul.”
“Ya, tapi….?”
“Tapi? Tidak ada tapi-tapian Dul.”


POSISI ANDA DI DEPAN ALLAH



Kang…, bisa nggak kita mengetahui, kedudukan kita saat ini di depan Allah?” Tanya Dulkamdi kepada Kang Saleh.

Kang Saleh hanya menghela nafas panjang. Ia pandangi sahabatnya itu lama sekali, sampai Dulkamdi kelihatan tidak enak, khawatir menyinggung Kang Saleh, atau jangan-jangan pertanyaan itu sudah masuk kedaerah rawan.
Dan, cess. Airmata Kang Saleh tumpah di pipinya.
Dulkamdi semakin merasakan tidak enak dibenaknya. Rasanya ingin segera pergi dari kedai itu. Tapi Pardi tiba-tiba dating, tanpa basa-basi meminta sisa kopi Dulkamdi yang tinggal seperempat cangkir.
“Dul. Kita sudah lama tidak bersenang-senang. Kalau sesekali kita menuruti hawa nafsu kita, apakah nggak boleh Dul, ya?”

Jumat, 10 Mei 2013


Jangan Bingung


Dulkamdi sudah hampir divonis gila oleh orang-orang sekampung. Kemanapun ia berjalan, selalu menyanyikan lagu-lagu. Kalau bukan lagu-lagu cinta seperti orang kasmaran, maka ia lagukan kisah penderitaan yang teramat dalam. Lalu airmatanya meleleh membelah pipinya yang kurus mongering. Ia sudah seperti majnun.

“Bagaimana nasib sahabat kita itu Kang?” Tanya Pardi.
“Nanti juga waras.”
“Jangan lama-lama Kang gilanya…”
“Memang saya ini Gusti Allah apa?”
“lho ya, saya nggak tega lihat Dulkamdi seperti itu…”
“Saya juga! Tapi Insya Allah nanti sore juga sudah kelar gilanya…”
“Kenapa nggak nanti siang Kang?”
“Biarlah dia lagi menikmati asmaranya dengan Allah.”

Dari jarak yang jauh, Dulkamdi memang tampak seperti kegirangan, lalu berjoged, bahkan tertawa terbahak-bahak. Ia bersya’ir dengan lagu yang begitu pahit :

www.IBLIS.com

Pagi itu, Pardi berpakaian necis, laiknya seorang pegawai perusahaan. Dgn gaya
seorang eksekutip Pardi memasuki kedai kopi Cak San, sembari menenteng sejumlah
tumpukan buku. "Mau kemana Kang?", tanya Cak San. "Lho nggak tau to, kalo saya
ini sedang kursus komputer?". "Wah kemajuan Kang. Nanti jadi apa setelah selesai
kursus?". "Saya mau belajar komputer sampai ahli, hingga saya bisa tau dimana
virus komputer itu." Cak San tidak terlalu tanggap, karena memang tidak tau
bahasa modern, apalagi virus komputer. Yg dia tau itu virus padi yg biasanya
menghabiskan tanaman petani disawah. Pernah juga mendengar, misalnya virus
masarakat, virus dlm tubuh, virus politik, dll. tapi riciannya tidak tau, hanya
dari mulut ke mulut saja.
Kang Parmin Naik Haji

Menjelang keberangkatan para Calhaj, kedai Cak San terus menjadi ajang diskusi
soal Haji. Soal pengalaman aneh2di tanah suci, sampai berbagai penderitaan
akibat ulah para oknum kelompok di tanah air. Tetapi bagi Kang Parmin,
pengalaman naik haji ditahun silam justru lain. Kang Parmin tergolong manusia
langka yg datang ke kedai itu. Kadang2 saja, dua bulan sekali ia menongolkan
kepalanya, sambil mencari obat kangen kedai kopi Cak San. Pardi paling
bersemangat kalau menanyakan pengalaman Kang Parmin. "Saya dulu naik haji, saya
niati untuk plesiran, dharmawisata lah..." kata Kang Parmin.